Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

Sujiono, mantan pemain ludruk yang jadi produsen parut listrik

Kamis, 05 Mei 2011 | 16.00.00 | 0 komentar

Tulungagung - Meraih sukses bisa lewat cara apa saja, salah satunya melalui inovasi. Sujiono menggunakan prinsip itu. Meski hanya lulusan SD, pria asal Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur, ini sukses berbisnis parut listrik hingga beromzet miliaran rupiah per tahun.

Dulu, mungkin tak pernah ada orang mengira bahwa kegiatan sederhana kelas rumah tangga ini bisa menjadi sebuah bisnis andalan: memarut kelapa. Tapi kini, jasa memarut kelapa dengan mesin parut telah menjadi salah satu lapak paling laris di pasar-pasar tradisional.

Kalau Anda perhatikan bisnis sederhana ini dari satu lapak ke lapak lain, ada dua jenis mesin parut yang dipakai: mesin parut diesel dan mesin parut listrik. Mesin parut diesel lebih berisik ketimbang mesin parut listrik. Nah, penemu mesin parut listrik tersebut adalah Sujiono.

Pria sederhana asal Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur, ini kemudian menjadikan benda temuannya sebagai sandaran hidup. Dari memproduksi alat parut listrik ini Sujiono berhasil membalikkan kehidupan ekonominya 180 derajat lebih baik.

Sujiono mulai memproduksi parut listrik pada tahun 2001. Dari semula hanya dipasarkan di sekitar Tulungagung, kini alat itu menyebar hingga Surabaya, beberapa kota di Sumatra, Nusa Tenggara, bahkan Papua. Di Jawa, harga parut listrik serbaguna ini Rp 210.000 per unit. Di Sumatra, harganya melonjak menjadi Rp 350.000 per unit.

Sejatinya, parut listrik serbaguna buatan Sujiono hanyalah mesin pemarut biasa yang menggunakan mesin pompa air sebagai penggerak. Pengguna alat ini adalah industri makanan yang harus banyak-banyak memarut kelapa saban hari, seperti katering dan restoran. Namun, ada juga dapur rumahtangga biasa yang memakainya.


Dipacu oleh anak

Dua puluh tahun lalu, Sujiono tak pernah membayangkan bisa sukses seperti sekarang. Maklum, sejak kecil Sujiono sudah akrab dengan kesulitan ekonomi. Umur 13 tahun, Sujiono ditinggal ibunya meninggal dunia. Ia lantas tinggal bersama sang ayah.

Kakak-kakak perempuan Sujiono yang sudah menikah hidup sendiri-sendiri. Karena tak ada biaya, ia hanya bisa menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD) dan terpaksa menghidupi diri sendiri. Sang ayah tak mau mengurusnya.

Sujiono kecil biasa mencari uang dengan menjual kayu bakar yang dia kumpulkan dari hutan. Ia menitipkan kayu bakar ke warung nasi dekat rumahnya. Dari situ, ia bisa mendapatkan biaya hidup. Meski tak ada yang merawat, ia bisa bisa makan dua kali sehari.

Untuk mengisi hari-harinya, sejak remaja Sujiono yang kini sudah memiliki satu cucu ini bergabung dengan grup ludruk keliling. Ia mendapat beragam peran, dari pembantu hingga banci. “Apa saja saya lakukan supaya bisa bertahan hidup. Darah seni membuat saya mampu bertahan sebagai seniman,” katanya. Bukan kebetulan, ayah Sujiono memang seniman kuda lumping di desanya.

Meski berstatus seniman, Sujiono tetap tak punya penghasilan cukup. Tahun 1979, ketika menikahi Tati Purwati, bahkan sepeda ontel pun tak mampu ia miliki. Tati yang setia terus menemaninya bermain ludruk sembari menjual karcis pertunjukan. Saat itu upah bermain ludruk hanya cukup untuk belanja 3 kilogram beras per hari.

Setahun kemudian putri pertama pasangan ini lahir. Sujiono mulai mencari pekerjaan lain yang lebih memberi penghasilan tetap. Ia berusaha menanam jeruk di kebun mertua. Tapi, usaha ini tak berjalan lancar. Hasilnya kurang memuaskan. Sujiono juga mencari uang dengan beragam cara, dari berjualan kue sampai membuat kacang atom. Sayang sekali, kedua usaha itu juga gagal total.

Di tahun 1983, anak kedua Sujiono lahir. Mau tak mau, ia dituntut lebih rajin mencari penghasilan yang mampu mencukupi keluarga kecilnya. Sujiono lantas berjualan bekatul pakan ayam. Ia membeli bekatul dari Malang, lalu dijual di Tulungagung. Untung dari usaha ini lumayan. Ia membeli bekatul seharga Rp 5 per kilogram (kg) lalu menjualnya seharga Rp 25 per kg. Dari bisnis ini, ia mulai mendapatkan keuntungan yang cukup buat hidup.

Sayang, belakangan, semakin banyak pemain baru di bisnis bekatul. Alhasil, persaingan membikin bisnis Sujiono redup. Oleh karena itu, pada tahun 1987, dia mulai beralih ke bisnis penggergajian kayu. Dengan modal awal Rp 8 juta, ia membeli gergaji dan mesin diesel. Usaha ini sempat membuat istrinya stres lantaran hasilnya jauh dari perkiraan. Untunglah, lama kelamaan, usaha itu berjalan lancar. Tapi, empat tahun kemudian, usaha mandek.

Di saat bisnisnya menjelang gulung tikar pada 2001 itu, Sujiono mencoba membuat parut listrik. Ia perlu waktu enam bulan sampai menemukan komposisi mesin yang pas. “Awalnya, saya bikin parut ini untuk istri saya di rumah,” ujarnya.

Perlahan namun pasti, orang semakin banyak tahu parut buatan Sujiono ini. Beberapa orang datang untuk memesan. Ia juga aktif mengikuti pameran di kabupaten sampai parutnya diborong bupati. Pesanan dari toko dan penjual ritel berdatangan.

Kini, dengan dibantu puluhan karyawan, Sujiono mampu memproduksi hingga 1.200 unit parut listrik tiap bulan. Dari bisnis ini dia mampu mencatat omzet penjualan sampai 250 juta per bulan.

Sujiono sudah mematenkan temuan ini. Jika Anda mendapati parut listrik bermerek resmi Parut Listrik Serbaguna, ingatlah alat itu temuan pensiunan pemain ludruk ini.

Sumber: kontan


Posting Komentar