Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

Untung Gede dari Kaos Gadhe

Kamis, 26 Mei 2011 | 01.22.00 | 0 komentar

Kaos sudah menjadi pakaian yang umum dipakai segala kalangan. Tak mengherankan banyak yang berupaya mencari rupiah dengan menggeluti usaha produksi kaos ini. Agar menarik minat konsumen, perajin bahan sandang ini dituntut kreatif menampilkan ciri khasnya. Salah satunya, kaos dengan motif lanscape sebuah daerah.

Kaos-kaos yang mencerminkan daerah tertentu sudah lama ada. Sebut saja, Dagadu yang merupakan kaos produksi khas dari Jogjakarta, Joger dari Bali, Cakcuk dari Surabaya atau Dadung dari Solo. Keberadaan kaos-kaos ini ternyata menggelitik pria kelahiran Tulungagung, Toto Febri Kurniawan (37), yang tertarik mencoba meraup keberuntungan yang sama.
“Saya sudah lama mengagumi kaos-kaos suvenir. Setiap berkunjung ke berbagai kota, saya selalu mencari kaos-kaos yang mencerminkan daerah setempat. Ini pula yang mendorong saya membuat kaos serupa tetapi mencerminkan kekhasan Tulungagung,” tutur Toto, saat ditemui di showroom-nya di Jalan MT Haryono, Kelurahan Bago, Tulungagung, belum lama ini.
Guna mewujudkan idenya, Toto yang kala itu masih bekerja di bagian sirkulasi Harian Surya, memutuskan untuk pensiun dini, tepatnya di Oktober 2008. Dana pensiun dini itu sengaja disimpan untuk modal usaha mendirikan outlet cinderamata khas Tulungagung. Memasuki 2009, Toto mencoba usahanya dengan melayani pesanan kaos-kaos untuk pemilihan umum.
“Bersyukur tidak lama setelah saya keluar langsung ada pemilihan umum, sehingga tidak terlalu lama menganggur,” ujar anak ketiga dari empat bersaudara ini. Event lima tahunan itu benar-benar dimanfaatkan Toto untuk mencari untung yang akan digunakannya untuk menambah modal usaha.
Selama momentum Pemilu itu pula, ia gencar mengumpulkan materi gambar yang menonjolkan kekhasan kota Tulungagung. Di antaranya Patung Retjo yang melambangkan tahun berdirinya Tulungagung, Jembatan Plengkung yang ada sejak penjajahan Belanda, Pantai Popoh dan Candi Sanggrahan yang merupakan peninggalan zaman Majapahit.
Meski sudah menerima pesanan kaos, Toto baru mewujudkan idenya memproduksi kaos khas pada Maret 2010. Kaos itu diberi merek ‘Gadhe’ kepanjangan dari gegayuhan kang gedhe (cita-cita yang besar). Untuk proses produksi, ia dibantu oleh adiknya, Wawan Yunianto (34) yang sudah mempunyai usaha sablon.
“Sebelum produksi, saya menawarkan dua desain gambar Retjo dan Jembatan Plengkung yang dianggap mempunyai image yang kuat dengan Tulungagung,” kata Toto, yang memanfaatkan jejaring sosial facebook untuk promosi awal rencana produknya.
Diluar dugaan, ternyata respons dari dunia maya ini sangat positif. Terutama dari mereka yang kelahiran asli Tulungagung dan bekerja di luar kota. “Saat saya promosikan akan dicetak, ternyata banyak yang pesan. Jumlahnya sampai 250 orang,” ungkap peraih penghargaan kompetisi bertitel Lelaki Sejati Pengobar Inspirasi 2010 ini.
Kaos-kaos itu dikirim ke berbagai daerah, seperti Jakarta dan Kalimantan, sesuai keberadaan para pemesan. Dalam waktu dua minggu, kaos-kaos Gadhe sudah habis terjual. Dengan harga jual rata-rata Rp 65.000 per kaos, Toto meraih keuntungan sekitar 10 persen, atau Rp 6,5 juta.
Melihat keuntungan awal yang lumayan besar, Toto semakin yakin dengan usaha yang dirintisnya. Apalagi setelah kaos tersebut menyebar, semakin banyak yang dibuat penasaran dan menanyakan kaosnya. Bahkan tidak sedikit yang meminta untuk dicetak ulang.
“Saat permintaan pasar bagus dan terus meningkat, saya pikir inilah saatnya membuat usaha lebih serius,” kata Toto, yang memproduksi sedikitnya 350 buah kaos setiap bulannya, dimana 200 kaos untuk pasar lokal dan selebihnya dijual ke luar kota. Bahkan 3 bulan belakangan, Gadhe melayani pesanan hingga ke luar negeri, terutama dari para TKI asal Tulungagung.
Rata-rata ada 30 buah kaos yang dikirim ke Taiwan dan Hongkong setiap bulannya. Setiap kaos dihargai berdasarkan ukuran. Ukuran S dan L dibanderol Rp 60.000, XL hingga XXXL dihargai Rp 65.000, sedangkan ukuran XXXXL dan XXXXXL dihargai Rp 75.000. Dari seluruh transaksi, total perputaran uang dari Gadhe mencapai Rp 80 juta per bulan. Setelah dipotong biaya produksi dan lain-lain, Toto mampu mengantongi keuntungan bersih 10 persennya.
Dengan usaha yang kian dikenal, ia mulai menyewa sebuah ruko di Jalan MT Haryono, Kelurahan Bago, Tulungagung, sebagai showroom produknya. Untuk cetakan selanjutnya, beberapa desain gambar telah disiapkan, seperti Candi Sanggrahan dan Cethe. Hingga kini, tercatat sudah 20 desain yang dibuat. Setiap desain dicetak hingga 500 buah kaos berbagai ukuran dan warna kain.
“Soal desain, tidak ada kesulitan yang berarti. Karena obyek-obyek yang diinginkan tinggal dipotret dari berbagai sudut. Kesulitannya mungkin hanya saat memilih foto yang akan dipakai. Karena bahasa foto dengan bahasa cetak di kaos sangat berbeda,” jelasnya.
Guna kelancaran usahanya, ia mempekerjakan lima tukang potong sekaligus tukang jahit, serta lima tukang sablon. Mereka bebas mengerjakan pesanan di rumah masing-masing, namun dengan waktu yang ketat. Untuk menjaga kualitas produknya, Toto hanya memilih kain jenis soft cotton 30S.
“Memang lebih mahal, tetapi bahan baku ini sengaja dipilih karena paling nyaman, serta sempurna menyerap keringat. Puas rasanya kalau melihat orang memakai kaos ini dan mereka merasa nyaman,” kata pria lajang yang kini menikmati buah manis dari idenya.
Toto optimistis pasar masih terbuka lebar untuk produk kaos dengan ciri khas daerah, seperti Gadhe ini. “Selama masih ada pengunjung/wisawatan datang ke Tulungagung, pasti masih ada pembeli untuk produk kaosnya,” ujar Toto, yang berharap bisa terus meningkatkan produksinya dan mendapat pinjaman modal dari lembaga keuangan manapun. st37

Sumber: surya.co.id

Posting Komentar