Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

Perlawanan Moelyono Lewat Bendungan

Kamis, 25 Agustus 2011 | 01.33.00 | 0 komentar

Yogyakarta - Ruang pamer Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, berubah menjadi bendungan besar. Tiang utama di bagian tengah ruangan berubah menjadi parameter air. Angka-angka penunjuk ketinggian air dicetak dengan warna merah di atas selembar papan dan ditempelkan berurutan pada permukaan tiang. Dari 181.50, 182.00, 184.500, hingga 185.00 melengkapi garis-garis penanda dengan warna senada.

Memasuki ruang pamer galeri itu, kita seakan dilontarkan ke sebuah masa ketika bendungan dibangun. Moelyono, 54 tahun, perupa asal Tulungagung, Jawa Timur, yang membuat karya itu, sengaja menambahkan garis-garis lurus yang membelah ruangan. Garis itu dibuat Moelyono dari benang putih, seperti penanda bagi tukang bangunan yang hendak memasang bata. Pada pertengahan garis, benang-benang yang sama digantungkan bersilangan dengan pendulum pemberat terikat di bawahnya.

Itulah karya instalasi Moelyono untuk memperkuat aroma pameran tunggalnya, "Retak Wajah Anak-anak Bendungan", yang berlangsung di galeri itu pada 5-26 Agustus 2011. Karya instalasi itu sederhana, tapi sarat pesan. "Instalasinya minimalis," kata Nindityo Purnomo, pemilik Rumah Seni Cemeti.

Ya, boleh dibilang karya-karya Moelyono yang disuguhkan dalam pameran itu memang minimalis dan sarat pesan. Coba simak karya berjudul Titip Tanah Sawah. Empat rak besi yang berderet menempel pada dinding ruang pamer. Dalam susunan itu, Moelyono menempatkan tabung-tabung berukuran jempol orang dewasa pada permukaan rak dua tingkat tersebut. Di dalam tabung terdapat tanah kering yang dibawanya dari Wonorejo, sebuah desa di Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung. Adapun pada permukaan rak bagian atas, sebuah fosil tulang geraham dan gigi ternak diletakkan terkubur tanah.

Moelyono mengaku sengaja menggunakan idiom tanah milik petani sebagai simbol jiwa mereka yang tergadai. Sejak pemerintah membangun bendungan di desa itu, 520 hektare sawah milik petani berubah menjadi danau buatan. Permukiman, sekolah, dan tempat ibadah, yang entah berapa jumlahnya, juga terendam. "Jiwa mereka adalah bertani," ujarnya.

Dam yang membendung dua anak Kali Brantas di desa itu, Kali Gondang dan Wangi, sengaja dibangun untuk keperluan pembangkit listrik tenaga air dan sumber air minum bagi warga Surabaya. Pameran itu menjadi ekspresi kegetiran Moelyono melihat peristiwa tersebut.

Selain tanah, Moelyono menggunakan idiom benih tanaman, air, ramuan jamu, dan tetesan darah untuk mengungkapkan ekspresinya. Dalam karya berjudul Titip Benih Petani, misalnya, Moelyono mengisi tabung-tabungnya dengan benih padi, jagung, serta kacang-kacangan dan meletakkannya di atas rak berukuran sama.

Atau karya berjudul Titip Jamu yang berisi gumpalan ramuan jamu sebesar kelereng di dalam tabung. Lalu Titip Darah Tani, berupa tabung berisi tetesan darah. Semua idiom yang digunakan Moelyono dalam instalasinya merupakan cermin alat produksi petani.

Akibat tak lagi punya "senjata" untuk bertani, korban penggusuran pembangunan bendungan kehilangan pekerjaan. Mereka beralih pekerjaan, dari bertani yang digeluti bertahun-tahun, berubah menjadi buruh-buruh pabrik di kota besar. Mereka termiskinkan.

Moelyono berkisah akibat kehilangan pekerjaan utama itu, dari 38 anak di desa itu, hanya tiga yang kini melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. "Yang lain paling-paling hanya lulus SD," ujarnya.

Keprihatinan itu ia sampaikan melalui berbagai lukisan karyanya. Misalnya, Oleh-oleh Ibu dari Kota, berupa gambar wajah anak yang terbedaki lumpur kering. Wajah itu terlihat sangat mendominasi ukuran kanvas. Di sekitar wajah, sejumlah gambar obyek lain ditambahkan, dari sebungkus makanan ringan, telepon seluler, kelereng, kepala sapi, hingga peniti. Bentuk-bentuk wajah serupa terlihat dari lukisannya yang lain, seperti Aku dan Simbah di Atas Sawah Retak #1 dan #2, yang menampilkan wajah bocah terbedaki lumpur kering.

Menurut Nindityo Purnomo, cara minimalis Moelyono dalam karya instalasinya sekaligus menjadi kritik pemikiran atas merebaknya materialisasi hedonistik yang berkembang pada karya-karya yang hanya berorientasi pasar. Material karya instalasi Moelyono sederhana, murah, dan mudah didapatkan.

Nindityo menambahkan, sebagai seorang seniman sekaligus aktivis, Moelyono intens mendampingi para korban pembangunan Bendungan Wonorejo. "Jadi, dia tak sekadar mereportase," katanya.

Sejak 1990-an, Moelyono aktif dalam lembaga yang mendampingi para korban. Melalui aktivitas seni rupa, dia melakukan perlawanan dan protes sekaligus menyadarkan warga, yang kebanyakan petani. Beberapa tahun lalu, Moelyono menggelar performance art di Cemeti dengan mengajak para petani sebagai pemainnya. Dia juga membuka komunitas anak korban, yang kegiatannya antara lain menggambar dan kesenian tradisional kuda lumping.

Upaya itulah yang disebut Moelyono sebagai seni rupa penyadaran. Bagi dia, seni rupa adalah medium yang digunakan untuk mencapai tujuan sosial yang dia impikan.

ANANG ZAKARIA

Source: TEMPO Interaktif | Rabu, 24 Agustus 2011

Posting Komentar