Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

Tumpukan Manusia Dikira Jin Laut

Senin, 19 Desember 2011 | 22.10.00 | 0 komentar

Trenggalek - Ahmad Jambenur, nelayan Prigi, Trenggalek, Jatim, tidak pernah menyangka hidupnya menjadi penuh warna ketika melaut Sabtu (17/12) lalu. Dia menemukan perahu terbalik dengan tumpukan orang yang berusaha menyelamatkan diri dari ganasnya Laut Selatan. Tetapi, hanya sebagian kecil yang dapat dia tolong. KARDONO SETYORAKHMADI, Trenggalek

FEELING Jambe –panggilan Ahmad Jambenur– ketika melaut Sabtu siang (17/12) sudah agak aneh. Ketika mau berangkat merumpon (memancing ikan tuna dan tongkol selama 4–5 hari di laut), baling-baling kapalnya ngadat karena sebuah tas kresek nyangkut. Selain itu, ketika melaju ke arah rumpon (tempat tinggal buatan untuk ikan) yang dituju, kapalnya tidak bisa melaju sesuai dengan garis yang terpantau lewat GPS-nya. ’’Tidak tahu kok selalu melenceng. Seolah-olah kapalnya hendak ke arah barat saja,’’ kata pria kelahiran Pulau Raas, Madura, tersebut. Setelah sampai pada 23 nautica mile (sekitar 50 km dari pantai), tiba-tiba di kejauhan terlihat benda seperti tumpukan sampah laut.

Setelah didekati, benda tersebut terlihat bergerak-gerak. Melihat itu, Safari dan Asep, dua teman Jambe, langsung takut. ’’Itu jin, itu jin,’’ kata Safari yang dibenarkan Asep, seraya meminta Jambe yang memegang kemudi untuk berbalik arah. Apalagi saat itu cuaca tengah buruk. Ombak sedang tinggi-tingginya, langit gelap, suara petir bersahutan, dan hujan turun deras. Meski deg-degan, Jambe memutuskan terus mendekat. Ternyata, tumpukan yang dikira jin laut tersebut adalah sebuah kapal yang sudah terbalik dan dipenuhi orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri. Rupanya, itu adalah kapal karam imigran gelap yang ingin pergi ke Christmas Island, Australia. Jambe memutuskan untuk menolongnya.

Namun, begitu kapalnya mendekat dari sisi utara, para korban kapal karam itu langsung terjun dan berenang ke arah kapalnya. Takut kapalnya ikut tenggelam, Jambe langsung memundurkan kapal dan memutuskan untuk mengitari kapal penuh tumpukan manusia tersebut. Tujuannya, berkomunikasi dan memutuskan menolong dengan cara yang terbaik. ’’Karena kapal saya tidak mungkin mampu menyelamatkan semuanya,’’ ujar Jambe. Apalagi, saat itu Jambe juga melihat ada anak-anak dan perempuan yang menjadi korban. Dia melihat seorang perempuan dan seorang anak yang mengenakan pelampung sedang terombang-ambing dipermainkan ombak. Tetapi, mereka sudah tewas. ’’Tidak bergerak dan kulitnya sudah memucat,’’ terangnya.

Akhirnya, dia memutuskan untuk mendekat dari arah timur karena angin dan arus mengarah ke Timur. Sampai di sisi timur kapal korban, mendadak mesin kapal Jambe mati. Maka, ketika puluhan orang yang tengah menanti nasib di laut tersebut berebut terjun dan naik kapalnya, Jambe tidak bisa berbuat apa-apa. ’’Sampai nyaris kapal saya mau tenggelam karena mereka berebut naik,’’ tuturnya. Padahal, sebelumnya dia berniat hendak mengatur bantuan, bahwa yang lebih dulu diselamatkan adalah perempuan dan anak-anak. Tetapi, karena berebut, Jambe tidak bisa lagi mengontrol siapa yang harus diselamatkan lebih dulu. Lebih-lebih karena mesin kapalnya mati. Jadi, dia lebih sibuk untuk mengatur korban yang naik untuk berdiri di sisi timur supaya kapalnya tidak ikut tenggelam. ’’Sudah miring sekali ketika rombongan pertama datang dan naik secara berebut,’’ tuturnya.

Akhirnya, ketika total penumpang sudah mencapai 34 orang, Jambe memutuskan tidak menambahnya lagi. ’’Padahal, es yang saya siapkan untuk ikan sudah saya buang semua ke laut. Termasuk sebagian solar biar muat lebih banyak,’’ terangnya. Namun, suasananya jadi memilukan. Di dalam kapal, seorang ayah dan anak berangkulan sambil menangis keras-keras. Juga ada seorang imigran, yang belakangan diketahui Esmad, menangis sambil membentur-benturkan kepalanya ke tiang kapal. Rupanya, 20 keluarganya termasuk yang tidak terselamatkan (Saat sampai di darat, sepanjang Sabtu malam hingga Minggu pagi kemarin, Esmad langsung berlari bila ada kapal nelayan yang datang ke pantai). Dia mengira, nelayan itu menyelamatkan keluarganya yang lain.

Juga terjadi sebuah peristiwa yang menyayat hati Jambe. Yakni, ketika ada dua orang Indonesia yang diduga merupakan juru mudi kapal nahas tersebut berusaha naik. Karena kapalnya sudah tidak mampu lagi memuat orang, Jambe terpaksa menepiskan tangan dua orang yang hendak memanjat naik itu. Mereka tidak menyerah, kemudian mencoba naik ke sisi lain perahu. Kembali Jambe harus menepis tangan mereka supaya tidak bisa naik.

Akhirnya, setelah sekitar setengah jam berusaha, dua orang tersebut menyerah. Mereka kemudian berenang kembali ke arah kapal yang sudah terbalik, bergabung bersama orang-orang yang gagal naik ke perahu. Dua orang tersebut menatap Jambe. Menurut Jambe, mereka tidak terlihat marah. Terlihat kecewa, tetapi mereka mengerti. ’’Bahwa lebih penting menyelamatkan yang sudah ada, ketimbang ikut tenggelam semua,’’ tutur Jambe. Jambe kemudian menyalakan mesin, kemudian mengunci koordinat lokasi kapal karam tersebut dan meluncur ke pantai. Terakhir, dia memandang ke arah orang-orang yang masih bertahan di kapal karam tersebut. Yang membuat terenyuh bukan hanya melihat kedua juru mudi yang gagal naik tersebut. Tetapi, juga melihat dua perempuan setengah baya dan dua anak yang masih tertinggal. ’’Perkiraan saya, ada sekitar 30 sampai 40-an orang yang bertahan di lunas kapal itu,’’ katanya.

Pria kurus tersebut kemudian bergegas melajukan kapalnya kembali ke pantai. Sekitar sepuluh mil laut dari bibir pantai, dia mendapat sinyal. Dia segera menghubungi Musaim, pamannya, untuk segera meminta bantuan kapal lain. Musaim sendiri bergegas lapor ke pol air. Tetapi, karena keterbatasan alat (speedboat patroli mereka hanya mampu paling jauh ke jarak tujuh hingga delapan mil laut), pol air tidak bisa berbuat apa-apa.

Hingga sampai Jambe tiba di pelabuhan, belum ada satu pun kapal yang berangkat menyusul melakukan evakuasi. Karena belum berpengalaman, upaya mencari kapal evakuasi untuk membantu para korban terhambat. Ini fatal. Sebab, jarak 23 mil laut itu ditempuh sekitar tiga hingga empat jam, sebuah rentang waktu yang sangat lama bagi para korban untuk bertahan. Kapal bantuan untuk mencari korban yang tersisa pun baru berangkat sekitar pukul 18.00 Sabu petang. Yang naik tentu saja Jambe, dua petugas pol air, dan beberapa anggota tim SAR. Mereka tiba di lokasi kapal karam sekitar pukul 21.30 atau sekitar delapan sejak pertama Jambe menemukan mereka.

Namun, di gelapnya laut, mereka sudah tidak melihat apa-apa lagi. Orang yang tersisa berikut bangkai kapal sudah tidak ada. Seolah ditelan gelapnya malam Laut Selatan. Tim penyelamat tidak berhenti mencari. Mereka terus mencari, mengelilingi sekitar radius hingga 20 mil laut dari lokasi kecelakaan, tetapi tetap tidak menemukan apa-apa. ’’Arus laut yang kencang dan ombak yang sedang tinggi-tingginya bulan ini memang bisa menyeret mereka jauh,’’ katanya, sedih. Mereka baru kembali ke pantai sekitar pukul 05.00 dini hari kemarin dengan tangan hampa. Di darat, seorang korban yang terus-menerus berzikir sempat meminta Jambe dan istrinya untuk kembali lagi mencari. ’’Tolonglah, masih ada sekitar lima puluh orang lagi yang tadi masih hidup,’’ katanya. Namun, hingga tadi malam, tim SAR belum juga berhasil menemukan mereka yang tersisa.Kendati berhasil menyelamatkan 34 nyawa, Jambe mengaku tetap tidak bisa melupakan tatapan orang-orang yang tertinggal di laut lepas itu. ’’Seandainya saya bawa kapal yang lebih besar, mungkin selamat semua,’’ ucapnya, sedih.(nw)


Sumber: pontianakpost.com | Senin, 19 Desember 2011

Posting Komentar