Tulungagung - Lembaga pendamping buruh migran Paricara Tulungagung menemukan sedikitnya 90 persen tenaga kerja Indonesia menjadi korban perjanjian kerja. Akibatnya tak sedikit dari mereka yang melarikan diri setelah ditempatkan di lokasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Ketua Paricara Tulungagung Zaki Fitri Widodo mengatakan hingga saat ini masih sedikit petugas Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang memberitahukan materi kontrak kerja kepada calon TKI. Kondisi ini diperparah dengan masih banyaknya TKI yang mengalami buta huruf. “Harusnya petugas PJTKI yang berperan aktif membacakan kontrak kerja,” kata Zaki kepada Tempo, Rabu (28/4).
Dari pantauan Paricara yang melakukan survei dan investigasi, para calon TKI itu hanya diminta membubuhkan tanda tangan saat melengkapi kontrak kerja. Bahkan hingga diberangkatkan ke luar negeri, mereka tidak mengetahui calon majikan maupun tempat kerja yang akan menerima. Akibatnya mereka kerap berusaha melarikan diri setelah menerima perlakuan tak manusiawi di tempat kerja.
Sejumlah kasus yang kerap dialami para TKI ini adalah penempatan sebagai wanita penghibur di klub malam. Padahal sebelum berangkat mereka dijanjikan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan restoran.
Zaki sendiri menyebut praktek tersebut sebagai mafia kerja luar negeri. Lemahnya pengawasan yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja daerah kepada PJTKI membuat perusahaan itu berlomba-lomba memberangkatkan TKI. Hal ini diperparah dengan keberadaan petugas partikelir atau yang biasa disebut sponsor. “Mereka mencari calon TKW ke desa-desa dengan imbalan tertentu dari PJTKI,” kata Zaki.
Kabupaten Tulungagung sendiri merupakan daerah penyumbang TKI terbesar di Jawa Timur. Menurut data Paricara yang dihimpun dari Dinas Tenaga Kerja setempat, lebih dari 1.000 orang diberangkatkan ke luar negeri setiap tahunnya. Setiap tahun mereka mengirimkan uang dari luar negeri atau remittance sebesar Rp 300 miliar.
TEMPO Interaktif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar