Kediri – Penjual pupuk anorganik dan organik bermodel satu paket yang diberlakukan petani Kabupaten Kediri, direaksi keras Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kediri. Pihaknya meminta agen atau pengecer yang merugikan petani itu segera ditertibkan.
Ketua HKTI Kediri, Iskak Maulana mengaku sudah mengajukan persoalan itu ke Komisi B DPRD Kab. Kediri. “Komisi B harus klarifikasi terkait dengan menajemen peredaran pupuk dipaket yang akhirnya merugikan petani itu,” ucapnya.
Penggunaan pupuk organik, lanjut Iskak yang juga menjabat ketua Komisi A DPRD Kabupaten Kediri itu, pada prinsipnya sangat baik karena menyuburkan lahan pertanian. Selama ini, sudah banyak petani yang menggunakan pupuk kandang (organik). “Hanya saja, caranya masih tradisional,--kotoran hewan ditabur begitu saja di lahan pertanian,” tambahnya.
Alangkah baiknya, lanjut dia, kalau kotoran itu difrekmentasi lebih dulu sehingga hasilnya lebih baik. “Ini yang perlu digalakkan di kalangan petani dan harus bersabar. Tidak sekadar kotoran dilempar begitu saja di sawah,” tambahnya.
Sementara itu, Amriyanto, Ketua Komisi B sudah mersponnya dan akan memanggil Satun Kerja (Satket) terkait. Selain itu, pihaknya akan berkonsultasi dengan pusat mapun Pemprov Jatim, karena adanya kebijakan bahwa penggunaan pupuk organik untuk digalakkan di kalangan petani.
Di sejumlah daerah di Kabupaten Kediri, sudah ada kelompok tani yang memproduksi pupuk organik yang berbahan kotoran hewan dan dedaunan. Diterapkannya peredaran pupuk paket, selain akan memberatkan petani juga megancam usaha kelompok tani di bidang pupuk organik.
Salah satunya produksi pupuk organik yang dikembangkan Kelompok Tani (KT) Sri Rejeki di Desa Kandangan, Kecamatan Pagu. KT Sri Rejeki setiap hari mampu memproduksi antara 5- 6 ton pupuk organik berupa grandul, bogasi dan pupuk organik cair. Jika kondisi mendung, produksi dapat terhambat karena bahan baku,--kotoran hewan tidak bisa cepat kering. Konsumen pupuk organik ini kebanyakan petani Kab. Kediri.
Ketua KT Sri Rejeki, Rakidi mengatakan usahanya memang masih terbatas. Peralatannya berupa mesin pemroses pupuk, satu alat penghancur bahan baku yang kebanyakan dari kotoran hewan. Alat ini juga bantuan dari Pemprov Jatim yang diberikan setahun lalu.
Petani di sekitarnya, lanjut dia Rakidi, sebagian sudah beralih ke pupuk organik dan sebagian masih mencampur dengan pupuk kimia.
Dengan pupuk organik, lahan pertanian akan lebih subur dan hasilnya tidak kalah dengan pupuk kimia. “Produksi kami juga diminati petani dari Pare, Tulungagung, Nganjuk dan Blitar,” ujarnya. “Kami menjualnya lebih murah dibanding pupuk organik pabrikan yang harganya mencapai Rp 29 ribu per karung berisi 40 kg,” ucapnya. gim
Sumber: surabayapost.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar