Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

Kekeringan, 22 Kabupaten di Zona Kritis

Sabtu, 01 Oktober 2011 | 22.41.00 | 0 komentar

SURABAYA- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda memprediksi Jatim baru akan turun hujan November nanti. Kekeringan pun bakal memasuki zona kritis, karena saat ini saja-- September-- terdeteksi 22 kabupaten di level tiga atau ketersediaan air hanya sekitar 10 liter/hari.

“Kondisinya sudah cukup parah di wilayah selatan dan di utara Jatim. Itu karena kontur tanahnya tidak mampu menyerap air, padahal sebenarnya musim kemarau masih normal, “ ujar Ahli Geologi dari ITS Amien Widodo saat dihubungi Sabtu (1/10).

Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim ada 670 desa di 29 kabupaten Jatim yang dilanda bencana kekeringan.

Sebanyak 616 desa di 22 Kabupaten diantaranya berada kategori kritis sebab ketersediaan air di kawasan tersebut hanya berkisar 10 liter/hari. Warga pun harus mengais air 10 hingga 30 kilometer dari desa.

Amien menjelaskan ada tiga faktor utama yang menyebabkan kekeringan menjadi bencana. Iklim diakuinya menjadi faktor utama. Faktor kedua adalah kondisi dan struktur tanah. Di bagian utara dan selatan Jatim, kontur tanahnya tidak bagus untuk menyerap tanah. Bagian selatan berkontur bebatuan sedangkan bagian utara didominasi lempung dan kapur. Kondisi berbeda ada di bagian tengah Jatim yang didominasi endapan gunung berapi yang mampu menyerap air.

Kekeringan di Jatim diperparah dengan makin hilangnya sejumlah pohon dan hutan. Di sisi lain jumlah penduduk makin banyak. “Kalau dulu, air tanahnya sedikit tetapi jumlah penduduknya sedikit. Kalau sekarang jumlah penduduknya bertambah sehingga jumlah air terus berkurang,” katanya.

Kondisi akan semakin sulit jika kemarau masih tetap akan berlanjut hingga Desember. Artinya, akan semakin banyak daerah yang mengalami kekeringan.

Hal senada diungkapkan oleh aktivis lingkungan Prigi Arisandi. Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) itu mengungkapkan kekeringan yang berujung pada krisis air bersih akan terus membayangi wilayah Jatim. Prigi menyatakan, dari 118 sumber mata air di DAS Sungai Brantas kini hanya menyisakan 57 mata air saja.

“Sejauh ini upaya pemerintah hampir tidak ada, hanya menyebutkan sumber mata air yang mati, namun tidak ada langkah konkretnya,” katanya.

Realita yang lain, lahan hutan di Jawa Timur kini hanya tinggal 28 persen. Lebih menyedihkan lagi sebesar enam persen di antaranya dalam kondisi rusak. Rincinya, 300 hektare hutan dalam kondisi rusak dan sekitar sejuta hektare masih terdapat tegakan hijauan.

Kepala BPBD Jatim, Siswanto mengatakan telah mengajukan anggaran Rp 91 miliar untuk memasok air bersih ke sejumlah desa yang mengalami kekeringan.

BPBD memprioritaskan pengiriman air untuk 22 Kabupaten yang memiliki desa dengan kekeringan tingkat tiga.

Siswanto menyebut, daerah yang mengalami krisis air diantaranya Trenggalek, Pacitan, Nganjuk, Ponorogo, Bojonegoro, Pamekasan, Magetan, Malang, Lumajang, Pamekasan, Bangkalan, Tulungagung, Blitar, Gresik, Lamongan, Sumenep dan Madiun.

Lebih lanjut Siswanto memaparkan BPBD akan mengajukan anggaran lagi senilai Rp 120 miliar.

Gubernur Jatim Soekarwo mengakui cadangan air di Jatim memang relatif lebih sedikit ketimbang provinsi lain di Jawa. Pakde Karwo, sapaan akrabnya, mengatakan cadangan air di Jatim hanya setengah dari Jawa Tengah dan seperlima dari Jabar. Minimnya cadangan air itu tentu membuat daerah di Jatim rentan kekeringan.

Puso Hingga ‘Kehausan’

Kekerangan tahun ini tak hanya mengancam gagal panen alias puso, tapi ‘kehausan’ mulai dirasakan warga Madura karena pasokan air mineral pun makin sulit.

Kondisi itu dirasakan warga kota Kabupaten Sumenep. Warga sejak sepekan terakhir kesulitan mendapatkan air mineral untuk dikonsumsi.

Direktur UD Sarua Subur, Sumenep, Robin Budiyanto mengatakan, selama musim kemarau, pengiriman air kemasan dan galon berkurang. Persediaan dan permintaan konsumen tidak seimbang.

"Setiap harinya, untuk memenuhi permintaan rumah tangga dan pengecer membutuhkan sedikitnya 1.000 galon untuk semua merk. Tapi, suplai dari perusahaan justru hanya 1.000 galon setiap minggunya," terang Robin.

Sementara, sejumlah sungai di Probolinggo yang diawal 2011 lalu sering menimbulkan banjir, kini kering kerontang. Demi mengairi sawah dan ladang, sebagian petani pun terpaksa menggunakan pompa diesel.

”Sejak Agustus lalu, Kali Paser kering kerontang. Padahal pada bulan Januari saja, sungai ini meluap dan menimbulkan banjir sampi tiga kali,” ujar Abdul Djalal, warga Desa Pesisir, Kec. Sumberasih, Kab. Probolinggo.

”Repot juga jadi petani, saat musim hujan sawah terendam air dan terimbun pasir. Saat kemarau kekurangan air,” ujar Karyono, petani di Kel. Triwung Kidul, Kec. Kademangan, Kota Probolinggo.

Kondisi ini membuat sejumlah air waduk dan sungai debitnya menurun. Wilayah yang paling parah wilayah Kab. Mojokerto yang mengalami kekeringan ini adalah di wilayah, Kec. Jetis, Dawarblandong, Kec. Kemlagi, Kec. Dlanggu dan Kec. Gedeg, Kec. Kutorejo . Sedangkan di wilayah Kab. Jombang berada di wilayah Kabuh, Kec. Ploso, dan Kec. Plandaan, Kec. Bandar Kedungmulyo.

Sekertaris kelompok tani di Kec. Jetis, Kab. Mojokerto, Suhardi, dikonfirmasi, Jumat (30/9) mengatakan, untuk mengatasi kekeringann ini, sebaiknya Pemkab Mojokerto memberi bantuan pompa air ke petani. “Jika tidak ada bantuan pompa petani tak memiliki uang untuk biaya operasional bercocok tanam,” katanya.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan air dengan cara menyewa pompa di lahan 1 hektare sekitar Rp 1,5 juta. Padahal, jika hasil panen padi jenis IR 64 bagus dengan asumsi harga jual gabah panen sawah Rp 2.000 sampai Rp 2.500/kg maka petani mendapatkan keuntungan bersih Rp 2,3 juta sampai Rp 3 juta per hektar.

Di Lamongan kesulitan mencari air sudah berlangsung dua bulan. Di Lamongan Selatan misalnya, waduk dan embung yang menjadi harapan terakhir untuk memperoleh air sejak dua bulan lalu sudah tak bisa dimanfaatkan.

Waduk Gondang, misalnya, waduk terbesar di Lamongan ini kapasitasnya tinggal 2 juta m3. Padahal kapasitas normalnya bisa mencapai 23 juta m3. Sehingga, air yang ada sudah tak lagi dapat dialirkan untuk irigasi pertanian warga.

Terpisah, Ahmad Rofiul Huda, Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda mengatakan, “Ya. Kalau membaca dari prakiraan cuaca yang kami pantau, musim penghujan akan turun pada dasarian kedua bulan November.” “Bukan berarti musim kemarau tidak ada hujan ? Ada, tapi intensitasnya ringan,” lanjutnya.

Di musim kemarau ini, kisaran air hujan yang turun tidak kurang dari 50 milimeter per satu dasarian. Menurut catatan, 10 kota di Jatim masih dalam kondisi cerah dan berawan. Kesepuluh kota tersebut adalah Malang, Pasuruan, Madiun, Pacitan, Banyuwangi, Sumenep, Bawean, Nganjuk, Jember dan Blitar. Sisanya cerah.yop,md2,isa,bas,md5,sab


Sumber: Surabaya Post | Sabtu, 01/10/2011

Posting Komentar