Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

Wajah Retak dalam Bendungan

Sabtu, 13 Agustus 2011 | 18.35.00 | 0 komentar

SENIMAN Moelyono menghadirkan pameran tunggal berupa lukisan, instalasi dan foto bertajuk ‘Retak Wajah Anak-anak Bendungan’ di Cemeti Art House, hingga 26 Agustus. Pameran ini menelisik realitas sosial warga petani dan anak-anak yang tinggal di sekitar bendungan Wonorejo Jawa Timur. Dilengkapi data geografis wilayah Wonorejo serta dokumentasi proses berkaryanya bersama warga dan anak-anak. Moelyono juga membawa beberapa karya lukis di atas kaca garapan seorang petani di Desa Wonorejo bernama Pak Katar.
Dengan berbagai medium Moelyono mencoba membuat refleksi dan melakukan penyadaran atas sudut pandang baru bagi generasi muda di area bendungan. Ia juga membawa pengunjung dalam lokasi penelitiannya saat bendungan masih dalam proses pembangunan. Imajinasi itu dihadirkan lewat tali-tali menjuntai berpendulum dan kontruksi besi yang belum siap digarap.
Melalui marka-marka pengukur elevasi air yang ditempelkan, pria kelahiran Tulungagung ini, hendak menyatakan pentingnya menimbang kembali pemaknaan dan pemilihan media seperti halnya instalasi yang ‘dibangun’ secara taktis serta efisien.
Lima rak besi dengan botol tabung reaksi yang menampung elemen-elemen utama pembentuk sektor pertanian seperti tanah, air, bibit, jamu dan darah (petani) hendak menyiasati keringnya idiom atas terkikis habisnya hak dan air mata petani.
”Tahun 1982 dimulai pembangunan Bendungan Wonorejo untuk mengendalikan banjir, pembangkit PLTA, objek wisata dan pemasok air minum bagi Surabaya. Demi pembangunan dan pembebasan tanah, 529 hektare tanah persawahan, permukiman, sekolah dan pasar tergusur. Warga dipindahkan dengan transmigrasi lokal, antarpulau serta hidup di kawasan sabuk hijau,” jelasnya.
Mayoritas penduduk yang mendapat ganti rugi tanah, lanjutnya, mulai membangun rumah, membeli televisi dan kendaraan. Penduduk yang mendapat ganti rugi tinggi, membuka lahan kerja baru. Sedangkan yang sedikit beralih profesi menjadi buruh, sopir, penjaja makanan atau pembantu rumah tangga.
”Kini ketika uang ganti rugi menipis dan hasil profesi yang digeluti tidak mencukupi biaya hidup warga, banyak keluarga tidak mampu lagi menyekolahkan anak-anaknya. Masa depan generasi muda ini mulai retak,” ujarnya. (M-2)-g

Source: Kedaulatan Rakyat | 13/08/2011

Posting Komentar