Seputar Tulungagung™  ~   Berita Tulungagung Hari Ini 

PENDIDIKAN MURAH: Evaluasi Keberadaan RSBI

Selasa, 12 Juli 2011 | 07.52.00 | 0 komentar

JAKARTA - Sekolah negeri seharusnya lebih banyak menampung anak-anak tidak mampu, ketimbang dialihkan statusnya menjadi rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Pengalihan status ribuan sekolah negeri menjadi RSBI telah mengurangi kesempatan anak bangsa mendapatkan pendidikan yang bermutu dan murah.

"Pemerintah kelihatannya tutup mata menghadapi sekolah negeri berstatus RSBI memungut dana puluhan jutaan rupiah dari orangtua. Mana tanggung jawab pemerintah menyediakan pendidikan bermutu dan murah," kata guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof HAR Tilaar, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (10/7).

Menurut Tilaar, keberadaan sekolah berstatus RSBI kini sudah makin meresahkan masyarakat. Hal itu terkait dengan peraturan yang membolehkan sekolah RSBI memungut dana masyarakat sehingga peluang tersebut tampaknya dimanfaatkan sekolah untuk mengeruk sebanyak-banyaknya dana dari orangtua dengan alasan untuk peningkatan mutu.

"Padahal output dari sekolah RSBI hingga kini belum terlihat. Belum ada prestasi yang ditunjukkan anak-anak dari sekolah RSBI di ajang kompetisi sains tingkat nasional maupun internasional. Bagaimana sekolah itu bisa memungut biaya mahal jika kualitas anak didiknya saja tidak terlihat," ujarnya.

Ia menambahkan, jika kondisi itu dibiarkan terus, bukan mustahil hanya anak-anak dari keluarga mampu saja yang menikmati pendidikan bermutu. Karena proses seleksi lebih berdasarkan kemampuan akademik, maka kebanyakan murid yang lolos seleksi berasal dari keluarga kaya.

"Anak orang kaya bisa les ini dan itu, sehingga nilainya lebih baik. Sementara anak dari keluarga miskin cukup pasrah mendapat sekolah negeri dengan peringkat terendah, karena tak diminati anak dari keluarga kaya," ucap Tilaar.

Karena itu, menurut dia, masyarakat harus melakukan perlawanan atas diskriminasi itu. Pemerintah telah jelas dan nyata melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam UUD 1945 disebutkan, pemerintah harus memberi layanan pendidikan yang sama bagi seluruh warganya.

"Jika melihat kondisi sekarang, kan tidak seperti itu. Baru masyarakat yang berduit yang bisa menikmati pendidikan bermutu," kata Prof Tilaar.

Pengalaman penulis buku Johan Wahyudi agaknya bisa menjadi contoh bagaimana sebuah sekolah berstatus RSBI mengoyak-ngoyak perasaan temannya saat mendaftarkan anaknya di sebuah SMA RSBI di Jakarta. Saat mendaftar, temannya itu sudah diminta komitmennya soal kesanggupan membayar sumbangan minimal Rp 4 juta jika anaknya diterima di sekolah tersebut.

"Belum diterima saja sekolah sudah omong soal uang, paling sedikit Rp 4 juta. Bagaimana teman saya tidak ciut hatinya. Ini lembaga pendidikan atau lembaga bisnis sih. Pantas saja orang miskin tak boleh mimpi anaknya bisa masuk RSBI jika baru mendaftar saja sudah bicara uang," katanya dalam blog pribadinya.

Kemudian Johan Wahyudi berhitung berapa dana minimal yang terkumpul di sekolah berstatus RSBI. Ia memperkirakan, siswa baru yang diterima sebanyak 360 orang. Jika orangtua siswa menulis angka minimal, maka dana yang terkumpul mencapai angka Rp 1,4 miliar.

"Padahal, tak sedikit orangtua yang berani memberi sumbangan delapan hingga sepuluh juta rupiah agar anaknya bisa diterima. Sekolah bisa meraup uang tunai dari orangtua lebih dari tiga miliar rupiah. Itu bukan sekolah namanya, tapi perusahaan yang bisa mengeruk uang miliaran dengan mudah," kata Johan.

Jumlah sebesar itu, kata Johan, baru sekadar uang sumbangan. Siswa masih dipungut SPP (sumbangan penyelenggaraan pendidikan) berkisar Rp 350.000 hingga Rp 450.000 per siswa per bulan, beli seragam baru, buku, sumbangan praktikum, dan ekstrakurikuler yang jumlahnya baru diketahui setelah siswa masuk sekolah.

"Bagaimana mungkin bangsa Indonesia bisa cerdas sementara pemerintah membatasi akses setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Terkesan bahwa pemerintah mengotak-kotakkan setiap warga negara untuk mengambil haknya sebagai warga negara," katanya.

Karena itu, ia menilai, sudah saatnya program RSBI/SBI dihapuskan karena jelas-jelas sarat dengan nuansa bisnis. "Jelas-jelas terjadi diskriminasi terhadap dunia pendidikan. Sekolah bergengsi itu disediakan hanya bagi si kaya. Maka itu, benar adanya dengan ungkapan 'si miskin dilarang sekolah'," kata Johan.

Kasus mahalnya biaya pendidikan di RSBI tidak hanya di kota besar saja, juga di daerah seperti di SMAN 1 Boyolangu, salah satu SMA favorit di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Orangtua mengeluhkan kebijakan sekolah itu yang memungut dana hingga Rp 4,4 juta pada saat penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada Sabtu (9/7) lalu.

Kepala SMAN 1 Boyolangu Subandi membenarkan pungutan itu. Pungutan dana dari orangtua murid itu, menurut Subandi, telah disetujui dinas pendidikan setempat. Orangtua menyanggupi membayar biaya masuk hingga Rp 4,4 juta per siswa jika anaknya lolos seleksi penerimaan tersebut.

"Setiap anak yang diterima di SMAN 1 Boyolangu rata-rata dikenakan iuran sebesar Rp 4 juta lebih. Total dana yang sudah terkumpul saat ini adalah sebesar Rp 800 juta lebih," kata Subandi.

Subandi menjelaskan, pungutan yang mereka lakukan memang tidak memiliki dasar hukum sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 maupun Perda nomor 3 Tahun 2010 Kabupaten Tulungagung.

Ia berdalih, hal tersebut bisa terjadi lantaran pihak sekolah maupun komite tidak tahu aturan yang baru disahkan pada Desember 2010.

"Tahun 2009 dan 2010, yaitu selama dua tahun status RSBI SMAN 1 Boyolangu, belum ada produk hukum yang mengatur pungutan tersebut. Baru pada tahun ketiga ini peraturan tersebut diberlakukan, dan kami tidak tahu itu," turur Subandi membela diri. (Ant/Tri Wahyuni)

Sumber: Suara Karya

Posting Komentar